Sajak: Konspirasi Neurokimia


konspirasi neurokimia

/1/ norepinefrin; pada september yang enggan ceria, kucam pualam menuntun pantofel klimis yang jatuh dari firdaus, terbenam dalam pengap ruang akademisi, melangkah tegap melendeh bangku penjuru belakang, menyublim dalam “srimenanti” joko pinurbo, staphylococcus aureus menyingkir ngeri mencerup handsanitizer 70% jemarinya, “bilamana kau menjemput bulanmu, pungguk malang?“ sejawat flamboyan di sisinya terkikik berseloroh, “sampai masanya napas kami melebur di tanur yang memberangus keciak mulutmu” bisik lelaki itu tenang, tetiba rektus eksternal matanya berkelit dari aksara, menangkap basah aku yang buru-buru menjampi istilah anatomi jahanam, sebab tiga ratus detik ke depan akan diada-adakan pre-test, “fight or flight!” kurir pesan otak bergegas sprint di serabut praganglion pendek, tersirap darah, diaforesis dan palpitasi bergumul maut membuat mulas bak osce hari pertama.

/2/ dopamin; pada november lautan api, kawan-kawan menuduhku mengisap kokain, ibu kos mengiraku terpelet semar mesem, tapi aku sama sekali membantahnya mentah-mentah, “apa puncak dari enam hierarki maslow?”[1] telunjuk sang mahaguru tajam menuding hidungku, memasung ruh yang melanglang buana di alam khayal, “c-cinta dan kasih sayang” cicitku macam gubuk reyot, “self-transcendence” secarik kertas juru selamat disorongkan, bersama dengan kilasan senyum monosakarida yang merobohkan iman.

/3/ testosteron; pada februari yang sendu, di bawah rindang pohon meja bundar, kuajukan pertanyaan padamu, “apa arti mencintai?” kau, dengan stetoskop hitam tersampir di bahu, mewujud menjadi seorang filsuf, “mencintai adalah mendedikasikan diri sepenuh hati untuk kebahagiaan orang lain,” pandangmu menerawang, “manusia seringkali mengotori fitrah sucinya”.

/4/ kortisol; pada maret terakhir, kita terbaring dalam pusara ketidakpastian, aku merutuk habis-habisan makhluk mikroskopis itu, rindu masih mengakar, namun sadar cinta sejati mesti mengarah secara vertikal.

Penulis: Syifa A. | Majalah Zoners Tahun 2020



[1] Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow (1908-1970)  menambahkan satu kebutuhan manusia di atas piramida aktualisasi diri, yakni transendensi diri (Asmadi, 2008).

Comments

Popular posts from this blog

Suatu Hari di Kafe

Anatomi dan Fisiologi Sistem Kardiovaskuler

Latihan Soal Keperawatan Gerontik: Sistem Muskuloskeletal & Neurologi

Sajak: Pelita