Suatu Hari di Kafe


Lebih tepatnya diberi judul "kapok" wkwk. Sepertinya saya tidak bisa berteman dengan tempat tongkrongan ala-ala tersebut, meski banyak anak muda yang menggandrunginya. Mendengar harga yang ditawarkan saja sudah membuat tidak berselera, apalagi jika menu yang disuguhkan tidak menarik minat.

Pernah mencoba, dan sedikit terkejut ketika si mbak waitress menentukan minimal order–yang akan semakin berlipat jumlahnya saat weekend tibaTatkala mengetahui berapa lembar yang harus dirogoh dari kocek, diri ini terkejut untuk kedua kalinya.
"Huhu itu jatah makanku selama lima kali," Tangis saya–tentunya dalam hati wkwk. Sebenarnya, mungkin bagi banyak orang harganya relatif tidak mahal, "Rata-rata memang segitu," Ujar teman saya.
"Tidak bisakah mematok harga yang lebih wajar bagi anak indekos?" 

Lucu, ketika melihat menu yang ditulis dalam bahasa inggris, saya memutuskan memilih rice+sausage+scrambled egg+blackpepper sauce, dan berpikir sejenak, "Jangan bilang isinya nasi telur goreng dan sosis".

Sudah bisa diduga. Nasi panas mengepul dengan telur ceplok dan potongan sosis berlumur saus muncul di depan saya. Tertawa kering sembari membatin, "God, ini beli di warung sebelah kos harganya lebih murah tiga kali lipat. Nasinya juga pasti lebih banyak." Segera saya ambil sendoknya, dan memakan dengan hati yang menjerit wkwk. Yah, pergilah 'kasih' kejarlah keinginanmu. Cukup, hubungan 'kita' berakhir sampai di sini saja. Semoga saya selalu ingat bahwa kesederhanaan lebih bermakna, dibandingkan mengikuti gaya hidup kelas atas kebanyakan orang.



Comments

Popular posts from this blog

Anatomi dan Fisiologi Sistem Kardiovaskuler

Sajak: Konspirasi Neurokimia

Latihan Soal Keperawatan Gerontik: Sistem Muskuloskeletal & Neurologi

Sajak: Pelita